Ads 468x60px

Minggu, 26 Juni 2016

SEJARAH MINAHASA

Sejarah Minahasa

Diwilayah yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi kemudian berkembang menjadi tiga wilayah otonom yang disebut Tountemboan berpusat di Toumpaso, Tounsea berpusat di Niaranan, Toumbulu berpusat di .
Kemudian sekitar abad 13 Masehi sekitar tahun 1200an dijawa muncul kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Kertanegara kerajaan ini menjadi berkuasa diseluruh pulau Jawa sehingga menguasai perdagangan. Dimasa yang sama di Cina Kaisar Kubilai Khan sedangkan memperluas pengaruhnya ke segala penjuru, mereka menarik upeti bagi kerajaan-kerajaan didaerah perdagangan internasional. Utusan Kubilai Khan dibunuh oleh raja Kertanegara, hal ini menimbulkan amarah kaisar maka dikirimlah pasukan armada untuk menghukum Singosari. Kerajaan Singosari hancur dan pasukan Kubilai Khan kembali melewati selat Sulawesi. Diwilayah Singosari Raden Wijaya membangun kerajaan berpusat di Majapahit. Dimasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ia mengangkat Panglima Perang Gajah
Mada menjadi Mahapatih yang kemudian melaksanakan ekspansi Sumpah Palapa. Sekitar tahun 1365 armada Majapahit menyerang kerajaan kerajaan di kepulauan utara Sulawesi diantaranya Mindanao dan menjadikan kerajaan Makatara sebagai sekutunya.
Pasukan maritim kerajaan menghindar dari kekuasaan Majapahit mereka masuk kesebelah utara Sulawesi di tanjung Pulisan. Kemudian terus masuk lebih kedalam lagi tapi tidak mendapat persetujuan republik perserikatan setempat. Kemudian atas ijin Pemimpin Besar Tounsea maka mereka dapat mendiami perairan muara danau, itu sebabnya kelompok ini disebut Toundanou/ TouLour. Mereka bermukim membangun rumah perkampungan diatas air. Dikemudian hari akhirnya suku ini mendapat pengakuan dari ketiga negara serikat sehingga masuk sebagai anggota perserikatan yang disebut Minaesa.
Sekitar tahun 1375 dari Tombulu sekitar gunung Lokon turun satu pasukan dipimpin seorang pahlawan yang bergelar Lokonwanua, ia membangun armada laut bermarkas di pulau Manadotua. Pemerintahannya kemudian meluas pengaruhnya ke Siau Sangihe, Bolaang Mongondow, Tomini/Gorontalo. Saat itu di BolaangMongondow memerintah seorang raja keturunan Mokoduludug bernama Raja Damopolii dengan pusat pemerintahannya di Kotamobagu.
Baca selengkapnya dalam buku sejarah Minahasa dan Sulawesi Utara oleh DDS.Lumoindong

Aksara Malesung

Malesung adalah aksara tradisional masyarakat Minahasa Kuno yang telah tidak ada yang menggunakannya lagi. Bentuk aksara malesung atau Aksara Watugirot menurut budayawan Paulus Lumoindong (alm) berasal dari serumpun dengan aksara pilipina. Huruf Malesung ini pada hanya dipakai untuk menulis keputusan penting pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada batu watu menggunakan besi atau pahat batu/besi. Lihat Buku Aksara Malesung oleh David DS Lumoindong. Aksara Malesung kini hanya tersisa pada beberapa peninggalan Prasasti diantaranya prasasti Pinawetengan.
(Aksara Malesung) kini hanya tersisa pada beberapa peninggalan Prasasti diantaranya prasasti Pinawetengan.
Prasasti Pinawetengan ditemukan tahun 1888.. di desa Pinawetengan (Tompaso), Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Penanggalan masih diperkirakan antara abad 4 hingga abad 7 menurut Riedel tahun 670 Masehi, berdasarkan perhitungan silsilah. Prasasti ini menggunakan bahasa Minahasa Kuno meskipun huruf-huruf yang digunakan hiroglif belum ada yang mengetahui secara jelas, hanya syair kuno dan penjelasan turun temurun yang dipegang dipercaya sebagai Prasasti Musyawarah Leluhur untuk Pengaturan sistem pemerintahan dan Pembagian wilayah.
Prasasti ini berbeda dengan prasasti lainnya di nusantara (Indonesia) yang menggunakan huruf kawi yang masih terpelihara bukti-buktinya, sehingga mudah dipelajari. Hurufnya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan prasasrti dari Jawa semasanya. Huruf ini sudah tidak dikenal. Huruf-huruf pada Pinawetengan ditatah pada batu langsung, seperti di Jawa ditulis tetapi bukan huruf palawa, kawi dan sebagainya, kemungkinan besar huruf ini lebih tua dari huruf kawi, pallawa dan lainnya karena masih berbentuk gambar (hieroglif) sama dengan huruf mesir kuno. Hieroglif adalah sistem tulisan formal yang digunakan masyarakat Mesir kuno yang terdiri dari kombinasi elemen logograf dan alfabet. Melihat jenis huruf maka diperkirakan digunakan sebelum Masehi dan kemungkinan hilang atau mulai jarang digunakan sekitar abad 9. Prasasti Pinawetengan bisa saja lebih tua dari Prasasti Mulawarman dan Purnawarman (Saekitar Abad 2 MasehiAbad 5 Masehi). Ini peninggalan leluhur yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi indonesia dan menjadi tantangan bagi para pakar arkeologi dunia, hanya saya anggaran pemerintah pusat belum secara khusus diarahkan untuk menjadi pusat riset Indonesia. Ini Aksara dan Prasasti Republik Tertua didunia, deklarasi negara Demokrasi tertua di Asia mungkin juga didunia demikian kata David DS Lumoindong dalam bukunya Indonesia Negara Republik yang memiliki prasasti deklarasi republik tertua didunia. Sehingga akhirnya dunia belajar demokrasi ke Indonesia. Pinawetengan adalah merupakan aset dunia yang seharusnya dilindungi PBB.
Isi prasasti ini mengenai pernyataan Perdamaian, Deklarasi Penggunaan Sistem Demokrasi dalam Pemerintahan negara Republik Kuno, Pembagian Wilayah, Kebebasan Hak Asasi, Otonomi dan Hak Merdeka Berdiri Sendiri.
== Prasasti Pinawetengan ==
Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul “AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA” terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso. Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T. Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu lahirlah istilah “Watu Pinawetengan”. Usia gambar-gambar di batu Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7 (tujuh).
II. Analisa Arti Gambar Oleh J.Alb.T Schwarz.
Orang pertama yang menganalisa garis gambar di permukaan batu Pinawetengan adalah Pendeta J.Alb.T Schwarz, berdasarkan komentar Hukum Tua Kanonang Joel Lumentah. Keterangan Hukum Tua Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanya mengenai bentuk segi-tiga adalah bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara adat di batu Pinawetengan. Keterangan penting lainnya adalah gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang. Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya sampai disini uraian penulis J.Alb. Schwarz dalam bukunya “ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA”. Arti gambar manusia tidak dapat di analisa oleh Penulis J.Alb.T Schwarz.
III. Analisa Arti Gambar Oleh Jessy Wenas.
Menurut Jessy penelitian arti gambar batu Pinawetengan dengan melengkapi data cerita rakyat Tontemboan buku tulisan J.Alb.T.Schwarz “Tontembeansche Taksten” terbitan tahun 1907. bahwa pemimpin upacara adat di pinawetengan Maha dewa Muntu-Untu tidak hanya satu orang tapi ada beberapa orang dalam kurun waktu 800 Tahun. Kemudian membandingkan gambar manusia di Pinawetengan yang punya kesamaan dengan gambar manusia di gua Angano Filipina yang berusia 3000 tahun yang lalu, memberi data bahwa pembuatan gambar di batu Pinawetengan bukan hanya mulai dari abad ke-7 tetapi sudah di mulai sejak jaman sebelum Masehi. Untuk lebih mendalami penelitian simbol-simbol perbandingan gambar-gambar binatang dan benda lainnya dari sistim zodiak Minahasa dari buku ” De alfoersche Dierenriem ” tulisan pendeta berkebangsaan Belanda Jan Ten Hove cetakan Tahun 1887. Karena uraian simbol-simbol gambar zodiak buku JAN TEN HOVE tahun 1887 sangat jelas mengenai penggunaan simbolisasi itu. Maka bahan keterangan data itu digunakan penulis untuk menguraikan lebih jauh arti- arti gambar yang bukan gambar manusia di permukaan batu Pinawetengan.
Sebenarnya Watu Pinawetengan sempat terkubur dan hilang selama berabad-abad. Penggalian situs bersejarah itu dilakukan pada bulan Juni tahun 1888 hasil penelusuran JAT Schwarz dan JGF Riedel dari sastra lisan dan tuturan yang tersisa di masyarakat Minahasa. Mereka adalah putra Pendeta JG Schwarz dan Pendeta JF Riedel yang menjadi misionaris di Minahasa. Nederlandsche Zendeling Genootschap mengirimkan dua penginjil, Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel yang masing-ditempatkan di Langowan dan Tondano.
Penelusuran Riedel dan Schwarz sampai ke wilayah Sonder, Minahasa. Watu Pinawetengan berada di sebuah bukit di kawasan Gunung Tonderukan. Dari catatan Riedel dan Schwarz pada tahun 1862 dan bukti-bukti sejarah lisan leluhur Minahasa, Watu Pinawetengan berasal dari era abad VII Masehi. Hanya saja, upaya penggalian baru diadakan pada tahun 1888.
Menurut Santoso Sugondo tenaga ahli arkeologi mengenai Watu Pinawetengan, bahwa batu tersebut ,


Watu Pinawetengan

Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah batu bergores yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk setempat batu bergores ini disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini merupakan bongkahan batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki, menggambarkan kemaluan perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tidak jelas maksudnya. Para ahli menduga bahwa goresan-goresan tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur (nenek moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur dan menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus melakukan upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh keselamatan atau memperoleh apa yang diharapkan (seperti: keberhasilan panen, menolak marabahaya atau mengusir penyakit) dengan menggunakan batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.

Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat tempat bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar & Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa. Sampai saat ini batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap sebagai temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen sejarah, khususnya sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa.
am Pate-pate●Pakatiti Tuhema, Pakandu Mangena, Boleng Balang Sengkahindo●



Salah satu yang bisa ditemukan adalah Arca Toar Lumimuut yang terbuat dari tiga jenis bebatuan: pertama, dari batu yang sama dengan batu Waruga Toar Lumimuut; kedua, dari batu yang sama dengan jenis batu Pinabetengan; dan ketiga, berasal dari jenis batu tempat diikhtiarkan Toar Lumimuut sebagai suami istri oleh Karema yang berlokasi di Bukit Kasih Kanonang.

PERLENGKAPAN PRAJURIT
Asal Usul SUKU MINAHASA
(anak suku TONSEA)
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.
Di tanah Minahasa sendiri, kaum pendatang mempunyai ciri seperti Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek),dan Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .
Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina. Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru) Dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket)
Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal yang tercermin dari adanya tingkatan status sosial.
Tingkatan atau status sosial diatur sbb:
  1. Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas, golongan Makarua Siow, 2 X 9 ( 9 orang tonaas) yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan, hal sakit penyakit, dll.
  2. Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)
  3. Golongan Makasiow Telu 9 x 9 (rakyat).
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat).
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan.
Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua.yang berarti Orang tua yang melindungi.Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin
Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri.
Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus .
Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll.
Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif) ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga.
Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga. Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia.
Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb. Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu Pinawetengan ( batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi) yang bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:
  1. Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal
  2. Segala usaha harus dimusyawarahkan
  3. Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua
  4. Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik.( Kenaramen)
  5. Memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak
  6. Perempuan dan laki-laki sama kedudukannya
  7. Pesan tua-tua jangan diremehkan. (Taar)
Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan
  1. Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah Tontewoh, Tombulu, Tompakewa, Tolour
Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875
Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan,
  1. setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung dan Tonaas Kekeman ke Majesu.Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.

Anak suku Tonsea
Dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea. Keluarga dari Kembuan sebagai berikut:
Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah Walantakan
Keluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.
Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.
Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan
Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.
Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.
Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.
Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.
Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.

1 komentar:

Pondos mengatakan...

Tabea... Seharusnya sejarah MINAHASA di masukkan dlm Kurikulum mulai SD sampai perguruan tinggi yg ada di SULUT.

Posting Komentar