Sejarah Minahasa
Diwilayah yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi kemudian
berkembang menjadi tiga wilayah otonom yang disebut Tountemboan berpusat
di Toumpaso, Tounsea berpusat di Niaranan, Toumbulu berpusat di .
Kemudian sekitar abad 13 Masehi sekitar tahun 1200an dijawa muncul
kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Kertanegara kerajaan ini
menjadi berkuasa diseluruh pulau Jawa sehingga
menguasai perdagangan. Dimasa yang sama di Cina Kaisar Kubilai Khan sedangkan memperluas pengaruhnya ke segala penjuru, mereka menarik upeti bagi kerajaan-kerajaan didaerah perdagangan internasional. Utusan Kubilai Khan dibunuh oleh raja Kertanegara, hal ini menimbulkan amarah kaisar maka dikirimlah pasukan armada untuk menghukum Singosari. Kerajaan Singosari hancur dan pasukan Kubilai Khan kembali melewati selat Sulawesi. Diwilayah Singosari Raden Wijaya membangun kerajaan berpusat di Majapahit. Dimasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ia mengangkat Panglima Perang Gajah Mada menjadi Mahapatih yang kemudian melaksanakan ekspansi Sumpah Palapa. Sekitar tahun 1365 armada Majapahit menyerang kerajaan kerajaan di kepulauan utara Sulawesi diantaranya Mindanao dan menjadikan kerajaan Makatara sebagai sekutunya.
menguasai perdagangan. Dimasa yang sama di Cina Kaisar Kubilai Khan sedangkan memperluas pengaruhnya ke segala penjuru, mereka menarik upeti bagi kerajaan-kerajaan didaerah perdagangan internasional. Utusan Kubilai Khan dibunuh oleh raja Kertanegara, hal ini menimbulkan amarah kaisar maka dikirimlah pasukan armada untuk menghukum Singosari. Kerajaan Singosari hancur dan pasukan Kubilai Khan kembali melewati selat Sulawesi. Diwilayah Singosari Raden Wijaya membangun kerajaan berpusat di Majapahit. Dimasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ia mengangkat Panglima Perang Gajah Mada menjadi Mahapatih yang kemudian melaksanakan ekspansi Sumpah Palapa. Sekitar tahun 1365 armada Majapahit menyerang kerajaan kerajaan di kepulauan utara Sulawesi diantaranya Mindanao dan menjadikan kerajaan Makatara sebagai sekutunya.
Pasukan maritim kerajaan menghindar dari kekuasaan Majapahit mereka
masuk kesebelah utara Sulawesi di tanjung Pulisan. Kemudian terus masuk
lebih kedalam lagi tapi tidak mendapat persetujuan republik
perserikatan setempat. Kemudian atas ijin Pemimpin Besar Tounsea maka
mereka dapat mendiami perairan muara danau, itu sebabnya kelompok ini
disebut Toundanou/ TouLour. Mereka bermukim membangun rumah
perkampungan diatas air. Dikemudian hari akhirnya suku ini mendapat
pengakuan dari ketiga negara serikat sehingga masuk sebagai anggota
perserikatan yang disebut Minaesa.
Sekitar tahun 1375 dari Tombulu sekitar gunung Lokon turun satu
pasukan dipimpin seorang pahlawan yang bergelar Lokonwanua, ia
membangun armada laut bermarkas di pulau Manadotua. Pemerintahannya
kemudian meluas pengaruhnya ke Siau Sangihe, Bolaang Mongondow,
Tomini/Gorontalo. Saat itu di BolaangMongondow memerintah seorang raja
keturunan Mokoduludug bernama Raja Damopolii dengan pusat
pemerintahannya di Kotamobagu.
Baca selengkapnya dalam buku sejarah Minahasa dan Sulawesi Utara oleh DDS.LumoindongAksara Malesung
Malesung adalah aksara tradisional masyarakat
Minahasa Kuno yang telah tidak ada yang menggunakannya lagi. Bentuk
aksara malesung atau Aksara Watugirot
menurut budayawan Paulus Lumoindong (alm) berasal dari serumpun
dengan aksara pilipina. Huruf Malesung ini pada hanya dipakai untuk
menulis keputusan penting pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah
ditulis pada batu watu
menggunakan besi atau pahat batu/besi. Lihat Buku Aksara Malesung
oleh David DS Lumoindong. Aksara Malesung kini hanya tersisa pada
beberapa peninggalan Prasasti diantaranya prasasti Pinawetengan.
(Aksara Malesung) kini hanya tersisa pada beberapa peninggalan Prasasti diantaranya prasasti Pinawetengan.
Prasasti Pinawetengan ditemukan tahun 1888.. di desa Pinawetengan
(Tompaso), Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Penanggalan masih
diperkirakan antara abad 4 hingga abad 7 menurut Riedel tahun 670
Masehi, berdasarkan perhitungan silsilah. Prasasti ini menggunakan
bahasa Minahasa Kuno meskipun huruf-huruf yang digunakan hiroglif
belum ada yang mengetahui secara jelas, hanya syair kuno dan
penjelasan turun temurun yang dipegang dipercaya sebagai Prasasti
Musyawarah Leluhur untuk Pengaturan sistem pemerintahan dan Pembagian
wilayah.
Prasasti ini berbeda dengan prasasti lainnya di nusantara
(Indonesia) yang menggunakan huruf kawi yang masih terpelihara
bukti-buktinya, sehingga mudah dipelajari. Hurufnya sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan prasasrti dari Jawa semasanya. Huruf ini
sudah tidak dikenal. Huruf-huruf pada Pinawetengan ditatah pada batu
langsung, seperti di Jawa ditulis tetapi bukan huruf palawa, kawi dan
sebagainya, kemungkinan besar huruf ini lebih tua dari huruf kawi,
pallawa dan lainnya karena masih berbentuk gambar (hieroglif) sama
dengan huruf mesir kuno. Hieroglif adalah sistem tulisan formal yang
digunakan masyarakat Mesir kuno yang terdiri dari kombinasi elemen
logograf dan alfabet. Melihat jenis huruf maka diperkirakan digunakan
sebelum Masehi dan kemungkinan hilang atau mulai jarang digunakan
sekitar abad 9. Prasasti Pinawetengan bisa saja lebih tua dari Prasasti
Mulawarman dan Purnawarman (Saekitar Abad 2 Masehi – Abad 5 Masehi).
Ini peninggalan leluhur yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi
indonesia dan menjadi tantangan bagi para pakar arkeologi dunia, hanya
saya anggaran pemerintah pusat belum secara khusus diarahkan untuk
menjadi pusat riset Indonesia. Ini Aksara dan Prasasti Republik Tertua didunia, deklarasi negara Demokrasi tertua di Asia mungkin juga didunia demikian kata David DS Lumoindong dalam bukunya Indonesia Negara Republik yang memiliki prasasti deklarasi republik tertua didunia. Sehingga akhirnya dunia belajar demokrasi ke Indonesia. Pinawetengan adalah merupakan aset dunia yang seharusnya dilindungi PBB.
Isi prasasti ini mengenai pernyataan Perdamaian, Deklarasi
Penggunaan Sistem Demokrasi dalam Pemerintahan negara Republik Kuno,
Pembagian Wilayah, Kebebasan Hak Asasi, Otonomi dan Hak Merdeka Berdiri
Sendiri.
== Prasasti Pinawetengan ==
Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan
penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam
bentuk buku berjudul “AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA” terbit di tahun
1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada
mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang
terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan,
pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat
yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso. Istilah Watu
Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara
PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk
ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T.
Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang
Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu
lahirlah istilah “Watu Pinawetengan”. Usia gambar-gambar di batu
Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7
(tujuh).
II. Analisa Arti Gambar Oleh J.Alb.T Schwarz.
Orang pertama yang menganalisa garis gambar di
permukaan batu Pinawetengan adalah Pendeta J.Alb.T Schwarz, berdasarkan
komentar Hukum Tua Kanonang Joel Lumentah. Keterangan Hukum Tua
Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanya mengenai bentuk segi-tiga
adalah bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara
adat di batu Pinawetengan. Keterangan penting lainnya adalah
gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang.
Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya
sampai disini uraian penulis J.Alb. Schwarz dalam bukunya
“ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA”. Arti gambar manusia tidak dapat di
analisa oleh Penulis J.Alb.T Schwarz.
III. Analisa Arti Gambar Oleh Jessy Wenas.
Menurut Jessy penelitian arti gambar batu
Pinawetengan dengan melengkapi data cerita rakyat Tontemboan buku
tulisan J.Alb.T.Schwarz “Tontembeansche Taksten” terbitan tahun 1907.
bahwa pemimpin upacara adat di pinawetengan Maha dewa Muntu-Untu tidak
hanya satu orang tapi ada beberapa orang dalam kurun waktu 800 Tahun.
Kemudian membandingkan gambar manusia di Pinawetengan yang punya
kesamaan dengan gambar manusia di gua Angano Filipina yang berusia
3000 tahun yang lalu, memberi data bahwa pembuatan gambar di batu
Pinawetengan bukan hanya mulai dari abad ke-7 tetapi sudah di mulai
sejak jaman sebelum Masehi. Untuk lebih mendalami penelitian
simbol-simbol perbandingan gambar-gambar binatang dan benda lainnya
dari sistim zodiak Minahasa dari buku ” De alfoersche Dierenriem ”
tulisan pendeta berkebangsaan Belanda Jan Ten Hove cetakan Tahun 1887.
Karena uraian simbol-simbol gambar zodiak buku JAN TEN HOVE tahun
1887 sangat jelas mengenai penggunaan simbolisasi itu. Maka bahan
keterangan data itu digunakan penulis untuk menguraikan lebih jauh
arti- arti gambar yang bukan gambar manusia di permukaan batu
Pinawetengan.
Sebenarnya Watu Pinawetengan sempat terkubur dan hilang selama
berabad-abad. Penggalian situs bersejarah itu dilakukan pada bulan Juni
tahun 1888 hasil penelusuran JAT Schwarz dan JGF Riedel dari sastra
lisan dan tuturan yang tersisa di masyarakat Minahasa. Mereka adalah
putra Pendeta JG Schwarz dan Pendeta JF Riedel
yang menjadi misionaris di Minahasa. Nederlandsche Zendeling
Genootschap mengirimkan dua penginjil, Johann Gottlieb Schwarz dan
Johann Frederik Riedel yang masing-ditempatkan di Langowan dan
Tondano.
Penelusuran Riedel dan Schwarz sampai ke wilayah Sonder, Minahasa.
Watu Pinawetengan berada di sebuah bukit di kawasan Gunung Tonderukan.
Dari catatan Riedel dan Schwarz pada tahun 1862 dan bukti-bukti
sejarah lisan leluhur Minahasa, Watu Pinawetengan berasal dari era
abad VII Masehi. Hanya saja, upaya penggalian baru diadakan pada tahun
1888.
Menurut Santoso Sugondo tenaga ahli arkeologi mengenai Watu Pinawetengan, bahwa batu tersebut ,Watu Pinawetengan |
Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah
batu bergores yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk
setempat batu bergores ini disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini
merupakan bongkahan batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak
beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan
berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu
ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki,
menggambarkan kemaluan perempuan, dan motif garis-garis serta motif
yang tidak jelas maksudnya. Para ahli menduga bahwa goresan-goresan
tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas
pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur (nenek
moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur
dan menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia
harus melakukan upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh
keselamatan atau memperoleh apa yang diharapkan (seperti: keberhasilan
panen, menolak marabahaya atau mengusir penyakit) dengan menggunakan
batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat
tempat bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa
asli keturunan Toar & Lumimuut
(nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka
membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang
tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa. Sampai saat ini
batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu
pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap
sebagai temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen
sejarah, khususnya sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa.
am Pate-pate●Pakatiti Tuhema, Pakandu Mangena, Boleng Balang Sengkahindo●
Waruga Leluhur Di Desa Tua Keberadaan waruga Toar Lumimuut SITUS CAGAR BUDAYA, WARUGA TOAR LUMIMUUT – TOEDANA MINAESA, ROONG PALAMBA KECAMATAN LANGOWAN .
Salah satu yang bisa ditemukan adalah Arca Toar Lumimuut yang
terbuat dari tiga jenis bebatuan: pertama, dari batu yang sama dengan
batu Waruga Toar Lumimuut; kedua, dari batu yang sama dengan jenis batu
Pinabetengan; dan ketiga,
berasal dari jenis batu tempat diikhtiarkan Toar Lumimuut sebagai suami
istri oleh Karema yang berlokasi di Bukit Kasih Kanonang.
PERLENGKAPAN PRAJURIT
Asal Usul SUKU MINAHASA
(anak suku TONSEA)
(anak suku TONSEA)
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda-
benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka
manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi
sejak 35 ribu tahun lalu.
Di tanah Minahasa sendiri, kaum pendatang mempunyai ciri seperti
Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung
pesek),dan Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea,
Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang,
Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .
Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa
Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat
Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut,
tulang paras, bentuk mata, dll.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina.
Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui
cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan
upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi
masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru) Dan dari hal kegiatan
tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang
masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang
tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam
disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat
Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan
usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai
versi tarian Maengket)
Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu
diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang
melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi
kebudayaan Minahasa.
Tingkatan atau status sosial diatur sbb:
- Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas, golongan Makarua Siow, 2 X 9 ( 9 orang tonaas) yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan, hal sakit penyakit, dll.
- Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)
- Golongan Makasiow Telu 9 x 9 (rakyat).
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai
padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani
(membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan
Pasiyowan Telu (rakyat).
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan.
Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah
Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum
Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua.yang berarti Orang tua yang
melindungi.Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam
usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan
kerakyatan terjamin
Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang
karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya
sendiri.
Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus .
Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea
disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya
di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir,
Tobelo, Tidore dll.
Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow
(eksekutif) ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja
Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan
bahan keperluan rumah tangga.
Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh
beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya
pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat
/Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang
diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan
sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi
tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak,
Perebutan tanah pertanian antar keluarga. Hal ini membuat golongan
makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan
pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh
Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung
sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan
sungai Rumbia.
Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan,
Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai
kira-kira abad ke 14
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar
Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang
dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari
Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.
Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama
tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu
Pinawetengan ( batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian
membagi) yang bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar
Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:
- Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal
- Segala usaha harus dimusyawarahkan
- Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua
- Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik.( Kenaramen)
- Memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak
- Perempuan dan laki-laki sama kedudukannya
- Pesan tua-tua jangan diremehkan. (Taar)
Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan
- Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah Tontewoh, Tombulu, Tompakewa, Tolour
Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875
Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan,- setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung dan Tonaas Kekeman ke Majesu.Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.
Anak suku Tonsea
Dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut
banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya
mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea. Keluarga dari
Kembuan sebagai berikut:
Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah WalantakanKeluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.
Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.
Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan
Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.
Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.
Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.
Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.
Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.
0 komentar:
Posting Komentar