(Suatu pengantar diskusi ASG)
Oleh:
Martino Rengkuan,
S.Pd.
PENGANTAR
Awalnya saya diminta
oleh panitia SC untuk memberikan materi mengenai Ajaran Sosial Gereja (ASG),
namun karena saya melihat bahwa topik tersebut terlalu banyak dan tentunya dari
segi efektifitas waktu sangat tidak cukup untuk membahas ASG dalam arti yang
luas tersebut dalam kesempatan yang sangat sempit ini. Oleh karena itu dengan
tidak bermaksud wanprestasi terhadap permintaan Panitia SC, maka saya membuat
materi yang lebih sederhana dan singkat walau sangat disadari bahwa hal ini
justru mempersempit atau memiskinkan kekayaan nilai-nilai ASG yang tersebar
dalam berbagai dokumen ASG itu sendiri. Dalam bahasan ini saya akan berbicara mengenai
Prinsip-Prinsip ASG, dan lebih penting lagi adalah apakah prinsip-prinsip ini juga
merupakan prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh Pemuda Katolik?
Saya berharap bahwa
kita semua yang hadir disini tentunya sudah pernah mendengar tentang apa itu ASG,
atau barangkali ada beberapa yang bahkan telah mendalami dan mempraktekannya
dalam kehidupannya sehari-hari. Tetapi memang tidak menutup kemungkinan bahwa
tidak sedikit juga diantara kita yang belum pernah mendengar tentang ASG, hal
ini bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan waktu atau belum ada yang
memberitahukan atau bahkan mengajarkannya.
APA
ITU ASG?
ASG merupakan ajaran
Theologi khususnya Theologi moral, dan ASG bukanlah Ideologi, oleh karena itu
ASG merupakan pedoman-pedoman untuk bertindak, dengan kata lain ASG bertujuan
menuntun prilaku kristen[1].
Dengan adanya ASG orang Kristen “diharapkan” bertindak sebagaimana manusia yang
bermartabat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, solidaritas dan
kesejahteraan umum.
Gereja tidak hanya mewartakan
tentang keselamatan dan penebusan Kristus, tetapi juga memberikan tawaran
bagaimana ia harus menjalani kehidupan dalam relasi dengan masyarakat dan
lingkungannya. Salah satu tawaran Gereja ini adalah Ajaran Sosial Gereja.
Sejauh ia merupakan
bagian dari ajaran moral Gereja, ajaran sosial Gereja memiliki martabat dan
kewenangan yang sama seperti ajaran moral Gereja.
Ajaran sosial Gereja adalah Magisterium yang autentik yang mewajibkan
kaum beriman untuk menaatinya.[2]
Dalam kehidupam sosial yang begitu kompleks, ASG memancarkan
terang Injil dalam berbagai persoalan sosial yang ada. Oleh karena itu ASG merupakan
upaya untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Injil ke dalam realitas kehidupan sosial
masyarakat di tengah dunia. Secara sederhana ASG dapat dilihat sebagai kumpulan
berbagai dokumen yang berbicara mengenai persoalan-persoalan sosial yang
dikeluarkan oleh Magisterium Gereja, kebanyakan dokumen ini disebut ensiklik
(ajaran Paus). Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rerum Novarum (tentang
kondisi buruh, dikeluarkan oleh Paus Leo XIII tahun 1891), Quadragessimo
Anno (tentang pembaharuan tatanan sosial oleh Paus Pius XI tahun 1931), Mater
et Magistra (tentang umat kristiani dan persoalan-persoalan sosial di dunia
oleh Paus Yohanes XXIII tahun 1961), dan Centesimus Annus (1991). Centesimus Annus berisi antara lain penegasan Paus
Yohanes Paulus II bahwa Ajaran Sosial Gereja termasuk dalam ajaran resmi iman
dan tergolong dalam antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti
sebagai teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.
Selain ensiklik ada beberapa dokumen juga yang dijadikan
sebagai Ajaran Sosial Gereja, misalnya dokumen Medelin yang merupakan dokumen
hasil pertemuan Uskup-Uskup di Amerika
Latin pada tahun 1968. Surat Pastoral yang berjudul Economic
Justice for All (Keadilan Ekonomi bagi Semua) di tahun 1986 dari Para Uskup Amerika Serikat.
Dari Indonesia sendiri yakni surat dari KWI yang sangat terkenal Surat Gembala
tentang Pemilu, dan lain sebagainya.
Semua dokumen tersebut mencerminkan akan kegelisahan gereja
dalam pergulatan umat kristiani ditengah-tengah kehidupan sosial, politik,
budaya dan ekonomi. Jika demikian ASG sebenarnya telah ada sejak sejak umat
kristiani menjalani hidup ditengah masyarakat dan dunia.
Gereja hadir ditengah-tengah dunia, oleh karena itu tugas Gereja
adalah hadir di dunia, bukan lari dari dunia. Gereja tidak bisa melarikan dari
berbagai persoalan dunia, melainkan Gereja dituntut untuk mengambil bagian
dalam menyelesaikan berbagai persoalan dunia. Misinya adalah
mewartakan dan mengomunikasikan keselamatan Kristus, yang disebutNya “Kerajaan
Allah”, yakni persatuan dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Dengan
hadir di dunia, Gereja menjadi benih dan awal dari Kerajaan Allah di dunia.[3]
Keselamatan Kristus yang diwartakan oleh Gereja harus
menunjukan perubahan nyata tatanan dunia sesuai dengan yang dikehendaki
Kristus, jika Kristus menghendaki kita untuk saling mengasihi maka sudah
semestinya kita sebagai pengikut Kristus dapat saling mengasihi dengan tindakan
kasih yang nyata yang diterpakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dunia
yang kita tempati ini, minimal mulai dari sekitar kita menjadi tempat yang
sesuai dengan kehendak Allah, dan Kerajaan Allahpun mulai kita ciptakan.
Dalam konteks ASG ini, Kerajaan Allah yang hendak kita
bangun adalah dengan membangun diatas fondasi: keadilan sosial,
menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang paling membutuhkan,
mempromosikan hormat terhadap martabat manusia. Dengan demikian ASG adalah hukum cinta
kasih Kristus yang dilaksanakan
oleh Gereja dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat dan dunia.
PRINSIP-PRINSIP
ASG
Dalam kesempatan ini,
ada beberapa Prinsip ASG yang dapat dikemukakan yakni:
1.
Martabat
Manusia
Dalam
Centesimus Annus artikel 11, Paus
Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “…pokok pembahasan dan, dalam arti tertentu,
prinsip pemandu ensiklik Paus Leo dan seluruh ajaran sosial Gereja adalah
pandangan tentang pribadi manusia dan nilai unik pribadi….” Dan dalam Centesimus Annus artikel 53, beliau
mengatakan bahwa:
“Satu-satunya tujuan Gereja adalah
memelihara dan bertanggung jawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan
Kristus kepadanya…. Kita tidak berhadapan dengan kemanusiaan yang ‘abstrak’,
melainkan dengan pribadi nyata, ‘konkret’, ‘historis’. Kita berhadapan dengan
setiap individu, karena setiap orang adalah bagian dari misteri Penebusan, dan
melalui misteri ini Kristus menyatukan diriNya dengan setiap orang selamanya.
Karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan, dan bahwa ‘pribadi
manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki Gereja dalam melaksanakan
misinya…langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri, satu-satunya jalan
menuju misteri Inkarnasi dan Penebusan.’ Inilah satu-satunya prinsip yang
menginspirasi ajaran sosial Gereja.”[4]
Dari
uraian yang panjang ini, hal yang mau
ditekankan bahwa satu-satunya sasaran dalam misi Gereja adalah Manusia. Dasar
misi ini adalah Misi Kristus sendiri yakni Keselamatan seluruh umat manusia,
oleh karena itu bekerja untuk Kristus berarti bekerja untuk keselamatan
manusia.
Gagasan
mengenai Martabat manusia ini bersumber dari keyakinan bahwa manusia diciptakan
menurut citra Allah[5].
Bahkan dalam berbagai teologi Katolik manusia menjadi putra Allah, bahkan
manusia sebagai Allah itu sendiri yang berdiam dalam tubuh manusia.[6]
Dengan menjadi Citra Allah, hidup manusia dipandang suci dan bermartabat.
Tentunya
manusia sebagai Citra Allah membawa konsekuensi penting, yakni Setiap orang
adalah ciptaan Allah, setiap orang merupakan Citra Allah, oleh karena itu
setiap orang memiliki martabat yang sama, dalam konteks martabat manusia kita
semua tidak berbeda, karena martabat manusia ini sama sekali bukanlah usaha
atau prestasi kita melainkan semata-mata sebagai Anugerah Allah. Maka, selama
ia adalah manusia yang diciptakan oleh Allah dan karenanya secitra dengan Allah,
ia punya martabat, derajat, dan hak yang sama dengan manusia lain.[7]
Manusia
sebagai Citra Allah, memposisikan manusia jauh lebih terhormat dan penting
daripada benda atau ciptaan lain.[8]
Oleh karena itu, manusia tidak pernah bisa dan tidak boleh diperlakukan sebagai
sarana atau alat. Karena martabat manusia ini, tidak dibernakan upaya atau
usaha yang memperalat manusia yang lain, jika hal ini terjadi artinya telah
terjadinya upaya atau usaha untuk merendahkan martabat manusia. Lebih jauh dari
itu oleh karena manusia adalah citra Allah dan ciptaanNya yang paling sempurna,
maka tindakan merendahkan martabat manusia dapat dimaknai sebagai upaya untuk
merendahkan Allah sendiri.
Manusia
juga memiliki dimensi sosial, ia juga sebagai mahluk sosial. Allah menciptakan
manusia tidak seorang diri, karena pada dasarnya manusia secara erat tergantung
kepada orang lain.[9]
Manusia
sebagai mahluk sosial bukanlah sifat lain dari manusia, melainkan merupakan
sifat yang satu dan melekat dalam diri manusia tersebut, bahkan dalam Gaudium Et Spes menyebutkan bahwa kodrat
sebagai mahluk sosial merupakan bagian dari “kodrat yang terdalam manusia”.
Dengan demikian ketergantungan manusia kepada manusia yang lain telah menjadi
kodrat manusia itu sendiri. Kemampuan manusia untuk maju dan berkembang juga
tergantung pada orang lain.[10]
Agar berkembang secara layak, manusia memiliki kecendrungan alami akan ikatan
sosial seperti masyarakat, negara, Mudika, Pemuda Katolik, PMKRI, serikat
buruh, dan lain sebagainya.
Jika
membaca semua dokumen ASG, Martabat manusia menjadi prinsip utama dalam sikap
gereja tentang manusia dan respon-responya terhadap persoalan-persoalan
ketidakadilan dan masalah-masalah ditengah masyarakat. Gereja selalu
mendasarkan pada prinsip manusia adalah Citra Allah, manusia sebagai pribadi cerminan
Allah sendiri, oleh karena itu memiliki hak dan martabat sederajat serta harus
menjadi tujuan dari setiap kebijakan dan program pembangunan.
2.
Prinsip
Berpihak Pada Kaum Miskin (Option for the
poor)
Kitab
Suci kita berbicara juga soal kaum miskin dan perlindungan kepada mereka. Dalam
Perjanjian Baru, Yesus Kristus sendiri menyatakan pilihanNya kepada mereka yang
miskin, bahkan mengidentifikasikan diriNya dengan mereka yang miskin dan
malang.[11]
Dalam Octogesima Adveniens, Paus
Paulus VI mengatakan bahwa “Dalam
mengajarkan cinta kasih, Injil mengajari kita untuk secara istimewa menghormati
orang-orang miskin dan situasi khusus mereka di tengah masyarakat….”[12]
Hal ini sejalan dengan hukum cinta yang sangat radikal yakni mencintai sesama
manusia seperti kita mencintai diri kita sendiri. Bisakah kita mencintai orang
yang miskin dan hina seperti kita mencintai diri kita sendiri?
Dalam
konteks ini sangat menarik Surat Pastoral dari Para Uskup Amerika Serikat yang
berjudul Economic Justice for All, dalam
surat ini antara lain mengatakan bahwa:
“Tujuan utama komitmen spesial kepada orang
miskin ini adalah memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam hidup
bermasyarakat. Mereka diberdayakan untuk mampu berbagi dalam dan menyumbang
bagi kesejahteraan umum. Karena itu, the option for the poor bukanlah
slogan permusuhan yang mengadu satu kelompok atau kelas dengan kelompok atau
kelas lain. Tetapi, prinsip tersebut menyatakan bahwa ketidakberdayaan kaum
miskin melukai keseluruhan komunitas. Tingkat penderitaan mereka adalah ukuran
sejauh mana kita telah menjadi sebuah komunitas sejati. Luka-luka itu hanya
akan disembuhkan oleh solidaritas yang lebih besar dengan kaum miskin dan di
antara kaum miskin sendiri.”[13]
(EJA art. 88).
The option for the poor adalah sebuah perspektif yang selalu
menguji keputusan-keputusan pribadi maupun kebijakan lembaga-lembaga publik
maupun privat, dan hubungan-hubungan ekonomi dengan melihat bagaimana kaum
paling miskin mengalami akibatnya.[14]
Kebijakan publik sudah semestinya menguntungkan bagi kaum miskin dan lemah
bukan sebaliknya. Jika demikian bolehlah kita katakan bahwa Pemuda katolik
sebagai organisasi yang sehat hanya dapat dicapai jika para anggotanya
memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin dan yang terpinggirkan
dalam masyarakat.
Paus
Yohanes Paulus II menekankan bahwa The
option for the poor juga merupakan perwujudan dari “tanggung jawab sosial,
gaya hidup, dan keputusan-keputusan yang kita buat berhubungan dengan
kepemilikan dan penggunaan harta benda kita”.[15]
Hal ini
juga tidak berarti bahwa orang kaya kita abaikan, karena Gereja ada untuk semua
orang, apapun status sosialnya. Tetapi, dalam situasi ketidakadilan dan
penindasan, misalnya, Gereja perlu mengambil sikap dengan mengutamakan
kelompok-kelompok atau orang-orang yang paling dikorbankan dan yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri. Mereka yang miskin dan tak berdayalah yang terkena
dampak paling berat dan karenanya meminta perhatian utama. Sementara golongan
kaya memiliki cara-cara untuk membela diri, sehingga tidak terlalu membutuhkan
bantuan dibandingkan dengan mereka yang miskin. Kaum miskin tidak mempunyai apa
pun untuk melindungi dan membela diri sendiri. Mengabaikan mereka ini akan
berarti “menjadi seperti orang kaya yang bersikap seolah-olah tidak melihat
bahwa Lazarus terkapar di gerbang rumahnya.[16]
(bdk. Luk 16:19-31).” (SRS art. 42).
Maka,
jelas bahwa the option for the poor bukan prinsip eksklusif, yang
meniadakan atau mengabaikan kelompok lain. Ini adalah sebuah pilihan (preferential).
Mereka yang paling lemah dan paling malang, yang tidak mampu membantu diri
sendiri, dipilih untuk diutamakan.[17]
3.
Prinsip
Solidaritas
“Solidaritas
bukan perasaan belas kasihan yang tidak jelas atau kesedihan yang dangkal
terhadap kemalangan begitu banyak orang…. Sebaliknya, solidaritas adalah
ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk meng-komitment-kan diri pada
kesejahteraan umum, yaitu pada kebaikan semua orang dan setiap individu….”[18]
Solidaritas
merupakan komitmen untuk memperjuangkan kebaikan sesama, solidaritas tidak sama
dengan simpatik apalagi rasa kasihan ketika mendengar kemalangan orang lain.
Saling tergantung antara sesama manusia akan dimaknai lebih dalam, saling
ketergantungan ini akan dilihat sebagai suatu sikap sosial dan moral, yang pada
gilirannya akan dilihat sebagai suatu sikap “Setia Kawan”.
Komitmen
harus diwujudkan dalam bentuk aksi bukan hanya sekedar komat kamit. Dengan
Solidaritas secara konkret membangun kondisi yang memungkinkan setiap warga
masyarakat berkembang dan memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan
spiritualnya.
“Pelaksanaan solidaritas
dalam setiap masyarakat menjadi valid bila setiap warganya saling mengakui
sesamanya sebagai pribadi. Mereka yang lebih berpengaruh, karena memiliki
bagian yang lebih besar dalam hal harta dan pelayanan umum, seharusnya merasa
bertanggung jawab terhadap mereka yang lebih lemah dan siap untuk berbagi semua
yang dimiliki dengan mereka. Dengan semangat solidaritas, mereka yang lemah
seharusnya tidak mengambil sikap pasif semata-mata atau sikap yang destruktif
terhadap tatanan sosial, namun…melaksanakan apa yang bisa mereka lakukan bagi
kebaikan semua. Kelompok-kelompok tengah seharusnya juga tidak mendesakkan
kepentingan mereka sendiri, melainkan menghormati kepentingan kelompok atau
orang lain.”[19]
Solidaritas terletak pada pengakuan bahwa orang lain adalah manusia
berpribadi. solidaritas berlaku bagi setiap orang dan kelompok, baik kaya
maupun miskin. Mereka yang miskin pun tetap dituntut, sesuai dengan kemampuan
mereka, untuk terlibat aktif bagi kebaikan sesama dan kesejahteraan
bersama. “Solidaritas membantu kita melihat sesama – baik pribadi,
orang-orang, maupun bangsa – bukan sebagai alat yang memiliki kemampuan untuk
bekerja dan mempunyai kekuatan fisik untuk dieksploitasi dengan biaya murah dan
kemudian dibuang setelah tidak dibutuhkan, melainkan sebagai sesama, rekan
untuk berbagi pada level yang sederajat dengan kita sendiri,….”[20]
(SRS art. 39).
4.
Prinsip
Subsidiaritas
Paus Pius XI
mengatakan bahwa “Mengambil alih dari individu-individu apa yang dapat mereka
selesaikan dengan inisiatif dan usaha mereka sendiri serta menyerahkannya
kepada komunitas adalah kesalahan besar; begitu pula menugaskan kepada asosiasi
yang lebih tinggi dan lebih besar apa yang dapat dilakukan oleh lembaga yang
lebih kecil dan berada di bawahnya merupakan ketidakadilan dan sekaligus
kejahatan besar serta gangguan terhadap tatanan yang benar.”[21]
Pengurus
Pusat seharusnya tidak mencampuri urusan komda ataupun komcab yang ada
dibawahnya, jika hal itu dapat mereka kerjakan sendiri dengan baik. Selama
individu atau pun lembaga yang lebih rendah mampu, tugas lembaga yang lebih
tinggi atau komunitas adalah mendukung sejauh dibutuhkan dan membantu dalam
berkoordinasi dengan lembaga lain atau dengan kegiatan masyarakat demi
kepentingan umum.[22]
Dengan demikian, ada pembagian peran yang jelas serta adanya penghormatan
terhadap peran-peran tersebut.
Dengan
adanya prinsip Subsidiaritas, maka partisipasi dari kalangan bawah dalam
menentukan sendiri dan dalam kehidupan bersama akan lebih besar. Orang-orang atau kelompok yang secara langsung
terkena dampak akibat dari suatu keputusan atau kebijakan seharusnya memiliki
peran dalam pengambilan keputusan atau kebijakan tersebut. Praktisnya bagaimana
melibatkan masyarakat kelas bawah dalam setiap pengambilan keputusan yang
akibatnya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah itu.
5.
Prinsip
Kesejahteraan Umum
“Menurut rencana Allah, setiap manusia
dipanggil untuk mengembangkan dirinya, karena setiap kehidupan adalah
panggilan…. Karena dianugerahi kecerdasan dan kebebasan, manusia bertanggung
jawab atas perkembangan dan keselamatan dirinya. …setiap orang dapat bertumbuh
dalam kemanusiaan, mampu memajukan nilai kemanusiaannya, dapat menjadi semakin
pribadi.”[23]
(PP art. 15).
Perkembangan
dan kemajuan diri adalah panggilan yang terdapat dalam rencana Allah bagi
setiap orang. Keselamatan manusia diwujudkan dengan mengembangkan dirinya
sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, kemuliaan Allah dan perkembangan diri
manusia bukanlah dua hal yang bertentangan.
Agar
perkembangan dan kemajuan setiap pribadi dan kelompok dapat terjamin secara
maksimal, dibutuhkan kesejahteraan umum. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan
umum adalah “…keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang
memungkinkan pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok mencapai kesempurnaan
mereka secara lebih penuh dan lebih mudah”.[24]
Kesejahteraan
umum adalah kondisi yang diciptakan dengan tujuan agar setiap orang
dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensi sepenuhnya.[25]
Setiap
kali berbicara secara detil tentang masyarakat dan negara, ASG selalu
mengaitkannya dengan kepentingan umum. Negara dan pemerintahan ada demi
kepentingan umum. Atau, dengan kata lain, tujuan negara tidak lain adalah
menjamin tercipta dan terpeliharanya kepentingan umum.[26]
Karena itu, pertama-tama, tanggung jawab untuk menciptakan kondisi ini terletak
di pundak pemerintah dan negara. Cara mengorganisasi masyarakat dalam ekonomi dan
politik, hukum dan kebijakan secara langsung mempengaruhi martabat manusia dan
kemampuan individu untuk berkembang dalam komunitas.
Namun,
di lain pihak, kesejahteraan umum juga menjadi tanggung jawab setiap orang.
Prinsip kesejahteraan umum menegaskan bahwa kita semua bertanggung jawab
seorang terhadap yang lain; bahwa orang lain adalah tanggung jawab kita.
Tanggung jawab tersebut mewajibkan kita semua bekerja membangun kondisi-kondisi
sosial yang menjamin agar setiap pribadi dan setiap kelompok dalam masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan potensi mereka.
Tampak
jelas bahwa prinsip ini mengalir secara langsung dari dimensi atau hakikat
sosial manusia. Fakta bahwa setiap orang bergantung pada orang lain
menggamblangkan kenyataan bahwa perkembangan orang lain adalah tanggung jawab
kita. Begitu pula dengan upaya membangun kondisi-kondisi sosial yang
memungkinkan perkembangan sesama.
Di
sisi lain, kita perlu ingat bahwa kewajiban untuk mencintai sesama tidak hanya
memiliki dimensi individual. Cinta kepada sesama juga menuntut komitmen sosial
yang lebih luas, yaitu tanggung jawab untuk menyumbang bagi kebaikan seluruh
masyarakat, bagi kesejahteraan bersama. Sumbangan tersebut berupa upaya-upaya
agar kondisi di atas terwujud. Kontribusi kepada upaya-upaya ini adalah
perwujudan perjuangan bagi keadilan sosial dan cinta kasih.[27]
Konsekuensi
praktis dari prinsip ini adalah setiap kelompok dalam masyarakat harus
memperhatikan hak, aspirasi, dan kebutuhan kelompok-kelompok lain serta
kebaikan bersama seluruh masyarakat.[28]
Dengan kata lain, setiap orang tak terkecuali anggota Pemuda Katolik perlu
menyesuaikan kepentingan masing-masing dengan kebutuhan pihak lain.
Pro Ecclesia Et Patria !!!
0 komentar:
Posting Komentar