Ads 468x60px

Jumat, 04 Januari 2013

PRINSIP-PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA


(Suatu pengantar diskusi ASG)

Oleh:
Martino Rengkuan, S.Pd.

PENGANTAR
Awalnya saya diminta oleh panitia SC untuk memberikan materi mengenai Ajaran Sosial Gereja (ASG), namun karena saya melihat bahwa topik tersebut terlalu banyak dan tentunya dari segi efektifitas waktu sangat tidak cukup untuk membahas ASG dalam arti yang luas tersebut dalam kesempatan yang sangat sempit ini. Oleh karena itu dengan tidak bermaksud wanprestasi terhadap permintaan Panitia SC, maka saya membuat materi yang lebih sederhana dan singkat walau sangat disadari bahwa hal ini justru mempersempit atau memiskinkan kekayaan nilai-nilai ASG yang tersebar dalam berbagai dokumen ASG itu sendiri. Dalam bahasan ini saya akan berbicara mengenai Prinsip-Prinsip ASG, dan lebih penting lagi adalah apakah prinsip-prinsip ini juga merupakan prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh Pemuda Katolik?
Saya berharap bahwa kita semua yang hadir disini tentunya sudah pernah mendengar tentang apa itu ASG, atau barangkali ada beberapa yang bahkan telah mendalami dan mempraktekannya dalam kehidupannya sehari-hari. Tetapi memang tidak menutup kemungkinan bahwa tidak sedikit juga diantara kita yang belum pernah mendengar tentang ASG, hal ini bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan waktu atau belum ada yang memberitahukan atau bahkan mengajarkannya.

APA ITU ASG?
ASG merupakan ajaran Theologi khususnya Theologi moral, dan ASG bukanlah Ideologi, oleh karena itu ASG merupakan pedoman-pedoman untuk bertindak, dengan kata lain ASG bertujuan menuntun prilaku kristen[1]. Dengan adanya ASG orang Kristen “diharapkan” bertindak sebagaimana manusia yang bermartabat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, solidaritas dan kesejahteraan umum.
Gereja tidak hanya mewartakan tentang keselamatan dan penebusan Kristus, tetapi juga memberikan tawaran bagaimana ia harus menjalani kehidupan dalam relasi dengan masyarakat dan lingkungannya. Salah satu tawaran Gereja ini adalah Ajaran Sosial Gereja.
Sejauh ia merupakan bagian dari ajaran moral Gereja, ajaran sosial Gereja memiliki martabat dan kewenangan yang sama seperti ajaran moral Gereja. Ajaran sosial Gereja adalah Magisterium yang autentik yang mewajibkan kaum beriman untuk menaatinya.[2]
Dalam kehidupam sosial yang begitu kompleks, ASG memancarkan terang Injil dalam berbagai persoalan sosial yang ada. Oleh karena itu ASG merupakan upaya untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Injil ke dalam realitas kehidupan sosial masyarakat di tengah dunia. Secara sederhana ASG dapat dilihat sebagai kumpulan berbagai dokumen yang berbicara mengenai persoalan-persoalan sosial yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja, kebanyakan dokumen ini disebut ensiklik (ajaran Paus). Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rerum Novarum (tentang kondisi buruh, dikeluarkan oleh Paus Leo XIII tahun 1891), Quadragessimo Anno (tentang pembaharuan tatanan sosial oleh Paus Pius XI tahun 1931), Mater et Magistra (tentang umat kristiani dan persoalan-persoalan sosial di dunia oleh Paus Yohanes XXIII tahun 1961), dan Centesimus Annus (1991). Centesimus Annus berisi antara lain penegasan Paus Yohanes Paulus II bahwa Ajaran Sosial Gereja termasuk dalam ajaran resmi iman dan tergolong dalam antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti sebagai teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.
Selain ensiklik ada beberapa dokumen juga yang dijadikan sebagai Ajaran Sosial Gereja, misalnya dokumen Medelin yang merupakan dokumen hasil pertemuan Uskup-Uskup  di Amerika Latin pada tahun 1968. Surat Pastoral yang berjudul Economic Justice for All (Keadilan Ekonomi bagi Semua) di tahun 1986 dari Para Uskup Amerika Serikat. Dari Indonesia sendiri yakni surat dari KWI yang sangat terkenal Surat Gembala tentang Pemilu, dan lain sebagainya.
Semua dokumen tersebut mencerminkan akan kegelisahan gereja dalam pergulatan umat kristiani ditengah-tengah kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Jika demikian ASG sebenarnya telah ada sejak sejak umat kristiani menjalani hidup ditengah masyarakat dan dunia.
Gereja hadir ditengah-tengah dunia, oleh karena itu tugas Gereja adalah hadir di dunia, bukan lari dari dunia. Gereja tidak bisa melarikan dari berbagai persoalan dunia, melainkan Gereja dituntut untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan berbagai persoalan dunia. Misinya adalah mewartakan dan mengomunikasikan keselamatan Kristus, yang disebutNya “Kerajaan Allah”, yakni persatuan dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Dengan hadir di dunia, Gereja menjadi benih dan awal dari Kerajaan Allah di dunia.[3]
Keselamatan Kristus yang diwartakan oleh Gereja harus menunjukan perubahan nyata tatanan dunia sesuai dengan yang dikehendaki Kristus, jika Kristus menghendaki kita untuk saling mengasihi maka sudah semestinya kita sebagai pengikut Kristus dapat saling mengasihi dengan tindakan kasih yang nyata yang diterpakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dunia yang kita tempati ini, minimal mulai dari sekitar kita menjadi tempat yang sesuai dengan kehendak Allah, dan Kerajaan Allahpun mulai kita ciptakan.
Dalam konteks ASG ini, Kerajaan Allah yang hendak kita bangun adalah dengan membangun diatas fondasi: keadilan sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang paling membutuhkan, mempromosikan hormat terhadap martabat manusia. Dengan demikian ASG adalah hukum cinta kasih Kristus yang dilaksanakan oleh Gereja dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat dan dunia.

PRINSIP-PRINSIP ASG
Dalam kesempatan ini, ada beberapa Prinsip ASG yang dapat dikemukakan yakni:
1.      Martabat Manusia
Dalam Centesimus Annus artikel 11, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “…pokok pembahasan dan, dalam arti tertentu, prinsip pemandu ensiklik Paus Leo dan seluruh ajaran sosial Gereja adalah pandangan tentang pribadi manusia dan nilai unik pribadi….” Dan dalam Centesimus Annus artikel 53, beliau mengatakan bahwa:
“Satu-satunya tujuan Gereja adalah memelihara dan bertanggung jawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya…. Kita tidak berhadapan dengan kemanusiaan yang ‘abstrak’, melainkan dengan pribadi nyata, ‘konkret’, ‘historis’. Kita berhadapan dengan setiap individu, karena setiap orang adalah bagian dari misteri Penebusan, dan melalui misteri ini Kristus menyatukan diriNya dengan setiap orang selamanya. Karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan, dan bahwa ‘pribadi manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki Gereja dalam melaksanakan misinya…langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri, satu-satunya jalan menuju misteri Inkarnasi dan Penebusan.’ Inilah satu-satunya prinsip yang menginspirasi ajaran sosial Gereja.”[4]

Dari uraian  yang panjang ini, hal yang mau ditekankan bahwa satu-satunya sasaran dalam misi Gereja adalah Manusia. Dasar misi ini adalah Misi Kristus sendiri yakni Keselamatan seluruh umat manusia, oleh karena itu bekerja untuk Kristus berarti bekerja untuk keselamatan manusia.
Gagasan mengenai Martabat manusia ini bersumber dari keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah[5]. Bahkan dalam berbagai teologi Katolik manusia menjadi putra Allah, bahkan manusia sebagai Allah itu sendiri yang berdiam dalam tubuh manusia.[6] Dengan menjadi Citra Allah, hidup manusia dipandang suci dan bermartabat.
Tentunya manusia sebagai Citra Allah membawa konsekuensi penting, yakni Setiap orang adalah ciptaan Allah, setiap orang merupakan Citra Allah, oleh karena itu setiap orang memiliki martabat yang sama, dalam konteks martabat manusia kita semua tidak berbeda, karena martabat manusia ini sama sekali bukanlah usaha atau prestasi kita melainkan semata-mata sebagai Anugerah Allah. Maka, selama ia adalah manusia yang diciptakan oleh Allah dan karenanya secitra dengan Allah, ia punya martabat, derajat, dan hak yang sama dengan manusia lain.[7]
Manusia sebagai Citra Allah, memposisikan manusia jauh lebih terhormat dan penting daripada benda atau ciptaan lain.[8] Oleh karena itu, manusia tidak pernah bisa dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana atau alat. Karena martabat manusia ini, tidak dibernakan upaya atau usaha yang memperalat manusia yang lain, jika hal ini terjadi artinya telah terjadinya upaya atau usaha untuk merendahkan martabat manusia. Lebih jauh dari itu oleh karena manusia adalah citra Allah dan ciptaanNya yang paling sempurna, maka tindakan merendahkan martabat manusia dapat dimaknai sebagai upaya untuk merendahkan Allah sendiri.
Manusia juga memiliki dimensi sosial, ia juga sebagai mahluk sosial. Allah menciptakan manusia tidak seorang diri, karena pada dasarnya manusia secara erat tergantung kepada orang lain.[9]
Manusia sebagai mahluk sosial bukanlah sifat lain dari manusia, melainkan merupakan sifat yang satu dan melekat dalam diri manusia tersebut, bahkan dalam Gaudium Et Spes menyebutkan bahwa kodrat sebagai mahluk sosial merupakan bagian dari “kodrat yang terdalam manusia”. Dengan demikian ketergantungan manusia kepada manusia yang lain telah menjadi kodrat manusia itu sendiri. Kemampuan manusia untuk maju dan berkembang juga tergantung pada orang lain.[10] Agar berkembang secara layak, manusia memiliki kecendrungan alami akan ikatan sosial seperti masyarakat, negara, Mudika, Pemuda Katolik, PMKRI, serikat buruh, dan lain sebagainya.
Jika membaca semua dokumen ASG, Martabat manusia menjadi prinsip utama dalam sikap gereja tentang manusia dan respon-responya terhadap persoalan-persoalan ketidakadilan dan masalah-masalah ditengah masyarakat. Gereja selalu mendasarkan pada prinsip manusia adalah Citra Allah, manusia sebagai pribadi cerminan Allah sendiri, oleh karena itu memiliki hak dan martabat sederajat serta harus menjadi tujuan dari setiap kebijakan dan program pembangunan.

2.       Prinsip Berpihak Pada Kaum Miskin (Option for the poor)
Kitab Suci kita berbicara juga soal kaum miskin dan perlindungan kepada mereka. Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus sendiri menyatakan pilihanNya kepada mereka yang miskin, bahkan mengidentifikasikan diriNya dengan mereka yang miskin dan malang.[11] Dalam Octogesima Adveniens, Paus Paulus VI mengatakan bahwa “Dalam mengajarkan cinta kasih, Injil mengajari kita untuk secara istimewa menghormati orang-orang miskin dan situasi khusus mereka di tengah masyarakat….”[12] Hal ini sejalan dengan hukum cinta yang sangat radikal yakni mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri kita sendiri. Bisakah kita mencintai orang yang miskin dan hina seperti kita mencintai diri kita sendiri?
Dalam konteks ini sangat menarik Surat Pastoral dari Para Uskup Amerika Serikat yang berjudul Economic Justice for All, dalam surat ini antara lain mengatakan bahwa:
 “Tujuan utama komitmen spesial kepada orang miskin ini adalah memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat. Mereka diberdayakan untuk mampu berbagi dalam dan menyumbang bagi kesejahteraan umum. Karena itu, the option for the poor bukanlah slogan permusuhan yang mengadu satu kelompok atau kelas dengan kelompok atau kelas lain. Tetapi, prinsip tersebut menyatakan bahwa ketidakberdayaan kaum miskin melukai keseluruhan komunitas. Tingkat penderitaan mereka adalah ukuran sejauh mana kita telah menjadi sebuah komunitas sejati. Luka-luka itu hanya akan disembuhkan oleh solidaritas yang lebih besar dengan kaum miskin dan di antara kaum miskin sendiri.”[13] (EJA art. 88). 
The option for the poor adalah sebuah perspektif yang selalu menguji keputusan-keputusan pribadi maupun kebijakan lembaga-lembaga publik maupun privat, dan hubungan-hubungan ekonomi dengan melihat bagaimana kaum paling miskin mengalami akibatnya.[14] Kebijakan publik sudah semestinya menguntungkan bagi kaum miskin dan lemah bukan sebaliknya. Jika demikian bolehlah kita katakan bahwa Pemuda katolik sebagai organisasi yang sehat hanya dapat dicapai jika para anggotanya memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin dan yang terpinggirkan dalam masyarakat.
Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa The option for the poor juga merupakan perwujudan dari “tanggung jawab sosial, gaya hidup, dan keputusan-keputusan yang kita buat berhubungan dengan kepemilikan dan penggunaan harta benda kita”.[15]
Hal ini juga tidak berarti bahwa orang kaya kita abaikan, karena Gereja ada untuk semua orang, apapun status sosialnya. Tetapi, dalam situasi ketidakadilan dan penindasan, misalnya, Gereja perlu mengambil sikap dengan mengutamakan kelompok-kelompok atau orang-orang yang paling dikorbankan dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri. Mereka yang miskin dan tak berdayalah yang terkena dampak paling berat dan karenanya meminta perhatian utama. Sementara golongan kaya memiliki cara-cara untuk membela diri, sehingga tidak terlalu membutuhkan bantuan dibandingkan dengan mereka yang miskin. Kaum miskin tidak mempunyai apa pun untuk melindungi dan membela diri sendiri. Mengabaikan mereka ini akan berarti “menjadi seperti orang kaya yang bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa Lazarus terkapar di gerbang rumahnya.[16] (bdk. Luk 16:19-31).” (SRS art. 42).
Maka, jelas bahwa the option for the poor bukan prinsip eksklusif, yang meniadakan atau mengabaikan kelompok lain. Ini adalah sebuah pilihan (preferential). Mereka yang paling lemah dan paling malang, yang tidak mampu membantu diri sendiri, dipilih untuk diutamakan.[17]
3.        Prinsip Solidaritas
“Solidaritas bukan perasaan belas kasihan yang tidak jelas atau kesedihan yang dangkal terhadap kemalangan begitu banyak orang…. Sebaliknya, solidaritas adalah ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk meng-komitment-kan diri pada kesejahteraan umum, yaitu pada kebaikan semua orang dan setiap individu….”[18]
Solidaritas merupakan komitmen untuk memperjuangkan kebaikan sesama, solidaritas tidak sama dengan simpatik apalagi rasa kasihan ketika mendengar kemalangan orang lain. Saling tergantung antara sesama manusia akan dimaknai lebih dalam, saling ketergantungan ini akan dilihat sebagai suatu sikap sosial dan moral, yang pada gilirannya akan dilihat sebagai suatu sikap “Setia Kawan”.
Komitmen harus diwujudkan dalam bentuk aksi bukan hanya sekedar komat kamit. Dengan Solidaritas secara konkret membangun kondisi yang memungkinkan setiap warga masyarakat berkembang dan memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan spiritualnya.
“Pelaksanaan solidaritas dalam setiap masyarakat menjadi valid bila setiap warganya saling mengakui sesamanya sebagai pribadi. Mereka yang lebih berpengaruh, karena memiliki bagian yang lebih besar dalam hal harta dan pelayanan umum, seharusnya merasa bertanggung jawab terhadap mereka yang lebih lemah dan siap untuk berbagi semua yang dimiliki dengan mereka. Dengan semangat solidaritas, mereka yang lemah seharusnya tidak mengambil sikap pasif semata-mata atau sikap yang destruktif terhadap tatanan sosial, namun…melaksanakan apa yang bisa mereka lakukan bagi kebaikan semua. Kelompok-kelompok tengah seharusnya juga tidak mendesakkan kepentingan mereka sendiri, melainkan menghormati kepentingan kelompok atau orang lain.”[19]
Solidaritas terletak pada pengakuan bahwa orang lain adalah manusia berpribadi. solidaritas berlaku bagi setiap orang dan kelompok, baik kaya maupun miskin. Mereka yang miskin pun tetap dituntut, sesuai dengan kemampuan mereka, untuk terlibat aktif bagi kebaikan sesama dan kesejahteraan bersama. “Solidaritas membantu kita melihat sesama – baik pribadi, orang-orang, maupun bangsa – bukan sebagai alat yang memiliki kemampuan untuk bekerja dan mempunyai kekuatan fisik untuk dieksploitasi dengan biaya murah dan kemudian dibuang setelah tidak dibutuhkan, melainkan sebagai sesama, rekan untuk berbagi pada level yang sederajat dengan kita sendiri,….”[20] (SRS art. 39). 
4.      Prinsip Subsidiaritas
Paus Pius XI mengatakan bahwa “Mengambil alih dari individu-individu apa yang dapat mereka selesaikan dengan inisiatif dan usaha mereka sendiri serta menyerahkannya kepada komunitas adalah kesalahan besar; begitu pula menugaskan kepada asosiasi yang lebih tinggi dan lebih besar apa yang dapat dilakukan oleh lembaga yang lebih kecil dan berada di bawahnya merupakan ketidakadilan dan sekaligus kejahatan besar serta gangguan terhadap tatanan yang benar.”[21]

Pengurus Pusat seharusnya tidak mencampuri urusan komda ataupun komcab yang ada dibawahnya, jika hal itu dapat mereka kerjakan sendiri dengan baik. Selama individu atau pun lembaga yang lebih rendah mampu, tugas lembaga yang lebih tinggi atau komunitas adalah mendukung sejauh dibutuhkan dan membantu dalam berkoordinasi dengan lembaga lain atau dengan kegiatan masyarakat demi kepentingan umum.[22] Dengan demikian, ada pembagian peran yang jelas serta adanya penghormatan terhadap peran-peran tersebut.
Dengan adanya prinsip Subsidiaritas, maka partisipasi dari kalangan bawah dalam menentukan sendiri dan dalam kehidupan bersama akan lebih besar.  Orang-orang atau kelompok yang secara langsung terkena dampak akibat dari suatu keputusan atau kebijakan seharusnya memiliki peran dalam pengambilan keputusan atau kebijakan tersebut. Praktisnya bagaimana melibatkan masyarakat kelas bawah dalam setiap pengambilan keputusan yang akibatnya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah itu.

5.      Prinsip Kesejahteraan Umum
 “Menurut rencana Allah, setiap manusia dipanggil untuk mengembangkan dirinya, karena setiap kehidupan adalah panggilan…. Karena dianugerahi kecerdasan dan kebebasan, manusia bertanggung jawab atas perkembangan dan keselamatan dirinya. …setiap orang dapat bertumbuh dalam kemanusiaan, mampu memajukan nilai kemanusiaannya, dapat menjadi semakin pribadi.”[23] (PP art. 15). 
Perkembangan dan kemajuan diri adalah panggilan yang terdapat dalam rencana Allah bagi setiap orang. Keselamatan manusia diwujudkan dengan mengembangkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, kemuliaan Allah dan perkembangan diri manusia bukanlah dua hal yang bertentangan. 
Agar perkembangan dan kemajuan setiap pribadi dan kelompok dapat terjamin secara maksimal, dibutuhkan kesejahteraan umum. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum adalah “…keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah”.[24]
Kesejahteraan umum adalah kondisi yang diciptakan dengan tujuan agar setiap orang dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensi sepenuhnya.[25]
Setiap kali berbicara secara detil tentang masyarakat dan negara, ASG selalu mengaitkannya dengan kepentingan umum. Negara dan pemerintahan ada demi kepentingan umum. Atau, dengan kata lain, tujuan negara tidak lain adalah menjamin tercipta dan terpeliharanya kepentingan umum.[26] Karena itu, pertama-tama, tanggung jawab untuk menciptakan kondisi ini terletak di pundak pemerintah dan negara. Cara mengorganisasi masyarakat dalam ekonomi dan politik, hukum dan kebijakan secara langsung mempengaruhi martabat manusia dan kemampuan individu untuk berkembang dalam komunitas. 
Namun, di lain pihak, kesejahteraan umum juga menjadi tanggung jawab setiap orang. Prinsip kesejahteraan umum menegaskan bahwa kita semua bertanggung jawab seorang terhadap yang lain; bahwa orang lain adalah tanggung jawab kita. Tanggung jawab tersebut mewajibkan kita semua bekerja membangun kondisi-kondisi sosial yang menjamin agar setiap pribadi dan setiap kelompok dalam masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan potensi mereka. 
Tampak jelas bahwa prinsip ini mengalir secara langsung dari dimensi atau hakikat sosial manusia. Fakta bahwa setiap orang bergantung pada orang lain menggamblangkan kenyataan bahwa perkembangan orang lain adalah tanggung jawab kita. Begitu pula dengan upaya membangun kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan perkembangan sesama. 
Di sisi lain, kita perlu ingat bahwa kewajiban untuk mencintai sesama tidak hanya memiliki dimensi individual. Cinta kepada sesama juga menuntut komitmen sosial yang lebih luas, yaitu tanggung jawab untuk menyumbang bagi kebaikan seluruh masyarakat, bagi kesejahteraan bersama. Sumbangan tersebut berupa upaya-upaya agar kondisi di atas terwujud. Kontribusi kepada upaya-upaya ini adalah perwujudan perjuangan bagi keadilan sosial dan cinta kasih.[27]
Konsekuensi praktis dari prinsip ini adalah setiap kelompok dalam masyarakat harus memperhatikan hak, aspirasi, dan kebutuhan kelompok-kelompok lain serta kebaikan bersama seluruh masyarakat.[28] Dengan kata lain, setiap orang tak terkecuali anggota Pemuda Katolik perlu menyesuaikan kepentingan masing-masing dengan kebutuhan pihak lain.
Pro Ecclesia Et Patria !!!

0 komentar:

Posting Komentar